MEMAYU HAYUNING BAWONO DIMULAI DARI KELUARGA

Author: Hifni Ashter /

Keluarga adalah bagian terkecil dari struktur organisasi di masyarakat. Keluarga merupakan stage awal kehidupan individu manusia berasal. Oleh karena itu, seseorang dikatakan berhasil dalam hidupnya karena juga didukung oleh keluarga yang berhasil mengantarkan dirinya menjadi berhasil, begitu juga seseorang yang dikatakan gagal dalam hidupnya karena didukung oleh kegagalan dalam keluarganya.
Sebelum kita mendidik siswa kita, didiklah dahulu keluarga kita untuk mengetahui tentang “Apa sebenarnya Setia Hati”. Dengan demikian kita akan mengurangi kesalahan-kesalahan yang mungkin kita lakukan ketika kita mendidik siswa tersebut. Selain itu kita memiliki pijakan untuk lebih mantap dan yakin akan apa yang telah kita berikan kepada siswa. Disamping itu, Keluarga merupakan cerminan dari kepribadian kita terhadap keluasan pengetahuan atau ilmu yang kita miliki untuk mengembangkan “Ilmu Setia Hati”.
1. Keluarga adalah cikal bakal semua Individu berasal.
Semua manusia terlahir pastilah memiliki keluarga. Secara sederhana keluarga terdiri dari Ayah, Ibu dan Anak. Kumpulan  keluarga membentuk sebuah kelompok yang dinamakan masyarakat. Perkembangan dari keluarga, masyarakat, berkembang lagi menjadi bangsa dan negara. Dalam skala besar berkembang menjadi bangsa-bangsa atau negara-negara Dunia.
2. Keluarga adalah cerminan kehidupan manusia.
Semakin tinggi kemampuan seseorang menguasai suatu pengetahuan atau ilmu, semakin baik pula dirinya mengatur kehidupan rumah tangganya. Sedangkan seseorang yang mengaku memiliki ilmu setinggi gunung tetapi jika kehidupan rumah tangganya berantakan berarti belum mampu untuk mempergunakan ilmunya untuk memayu hayuning bawono.
3. Keluarga adalah bukti ketinggian pengetahuan atau ilmu yang dimiliki seseorang.
Seseorang yang memiliki pengetahuan atau ilmu; adalah ibarat tanaman padi yang semakin tua semakin berisi, yang semakin tua semakin merunduk, yang semakin tua semakin indah dilihat pandangan mata. Hal ini karena padi tersebut selalu dijaga, dirawat dan diberi pupuk, air dan dilindungi dari segala hal-hal yang bisa mengganggunya. Demikian juga dengan pengetahuan atau ilmu, jika selalu dijaga, diasah dan diamalkan akan menghasilkan suatu kemaslahatan bagi kehidupan manusia tersebut.
Apalah artinya pengetahuan atau ilmu yang tinggi jika kehidupan keluarganya rusak, porak-poranda, penuh dengan keributan, kekerasan dalam rumah tangga, dan lain-lainnya. Oleh karena itu, kehidupan rumah tangga adalah cerminan ketinggian pengetahuan atau ilmu seseorang. Semakin tinggi pengetahuan atau ilmu seseorang maka semakin tinggi juga kemampuan untuk membentuk, mengatur dan membuat keluarganya lebih harmonis, mawaddah wa rahmah…. Amin..
Dengan konsep-konsep tersebut diharapkan seluruh Warga SH Terate memandang perlu membentuk keluarga-keluarga yang baik, harmonis, dapat menjadi contoh kehidupan berkeluarga di lingkungannya dan dapat menjadikan keluarga sebagai tempat yang nyaman, aman, bahagia, tentram dalam lahir maupun bathin.

Pentjak Silat - The History wich its related with PSHT

Author: Hifni Ashter /




What is it?
Pentjak Silat is the martial art of Indonesia. It is an effective form of self-defense, in which the user employs among others punches, chops, kicks, clamps, leg sweeps and scissors techniques. Pentjak Silat is characterized by graceful execution, distraction of the opponent with threatening moves and rapid surprise attacks.
But Pentjak Silat is more than just a form of self-defense or a fighting art. It is a complete system of personal development, with its own philosophy and code of ethics. As such, it can serve as a development path for those who wish to practice this fighting art.
In Indonesia, some 16 million people practice one of the approximately 800 styles of Pentjak Silat, a number of which have spread outside Indonesia in the second half of the 20th century.
Concepts
Opinions vary as to the exact meaning and origin of the terms “Pentjak” and “Silat”, most likely because of the large number of languages spoken in the Indonesian Archipelago.
“Pentjak” is usually explained as “skilful and specialized body movements”. In this sense, the term can refer to the exercise itself as a form of gymnastics, which is not by definition intended for self-defense.
“Silat” literally means “to hit” or “to defend”. This could be derived from “Bersilat’ which is formed from the components “Ber” (to do) and “Silat” (to fight). In short, Silat refers to the application of the Pentjak for self-defense.
All combined, “Pentjak Silat” can be translated as “to fight using specialized body movements”.
History
Origin
The exact source of the Eastern fighting arts is difficult to ascertain. Experts often point to priests and itinerant monks as the first to develop and spread the fighting arts in Asia.
Little is known about the origin of fighting arts in Indonesia, except what has come down to us in a limited number of government records and legends. According to cultural anthropologists, Pentjak Silat probably first developed among the Minangkabau on Sumatra and the surrounding islands, such as the Riau Archipelago. These islands are an important crossroads between India and China, and were settled by monks from both countries. From here, Pentjak Silat spread further into Indonesia. As a result of Indonesia’s wide geographical expanse and diverse local circumstances, many forms or “styles” of Pentjak Silat have developed.
Hindu-Buddhist period
Important elements in the early development of Pentjak Silat were the “keratons” (palaces) of the Indonesian sultans. As warlords, the sultans were responsible for the protection of their domains. The courts of the sultans were often visited by traveling monks who would subsequently exchange knowledge on a variety of subjects, including fighting arts. Martial arts were first and foremost a practical necessity for survival in times of war. Training in the art of fighting was survival training. In the so-called “pesantren”, a Hindu-Buddhist monastery, the aristocratic young students were trained in many things, including the fighting arts. These physical regimes were combined with basic spiritual teachings in religion and other mystical subjects. Over the course of time, the teachings of the pesantren also made their way into other areas of the community.
Islam
In the 15th century, Islam began to exert its influence in Indonesia. The Islamic conquerors fought many battles with the existing Hindu rulers. This inevitably provided new impulse to further refine the fighting techniques. In and following this time period, Pentjak Silat underwent considerable Arabian influence, such as the introduction of characteristic Muslim weapons.
Colonialism
The Dutch arrived in the Indonesian Archipelago in the 17th century and began colonization. The Indonesians sought various means to escape their domination, and the Dutch military occupiers put down many frequent uprisings and resistance movements. The practice of martial and fighting arts as well as the use of traditional weapons was forbidden. As a result, Pentjak Silat was practiced in secret and became a symbol of the underground resistance. In public, Pentjak Silat techniques were concealed and only demonstrated as a form of dance.
In the 19th century, the Dutch stimulated the migration of hundreds of thousands of Chinese merchants into the economy to stimulate growth. The Chinese brought Kuntao techniques with them from China. In all likelihood, these Chinese techniques also influenced Pentjak Silat.
Developments in the early 20th century
The 20th century brought a surge of nationalistic sentiment in Indonesia. Various emancipation movements surfaced. In Pentjak Silat, this period saw the rise of the “Setia Hati” style. Many of the movements were aimed at ending the Dutch rule. The conflict between Indonesia’s yearning for freedom and the Dutch colonialism further stimulated Pentjak Silat. Many of the Pentjak Silat styles were an expression of the craving for independence.

The Second World War
During World War II, the Japanese invaded the Dutch Indies in 1942. All political parties were driven underground as well as most Pentjak Silat styles. Although the Japanese occupation forces lifted the ban on fighting arts, the majority of training sessions remained in closed circles.

After the Second World War
The Dutch returned to Indonesia in 1945 after the Japanese capitulation. The cries for Indonesian independence were becoming increasingly loud, and resistance to the Dutch colonial power was growing. In 1947, the Dutch government opted for military action. The underground military movement and anti-Dutch sentiment combined to further stimulate development of the fighting arts. In both the inland guerrilla moments as well as the Dutch forces (The Royal Dutch Indonesian Army and the Queens Special Forces) the fighting arts were taught extensively. These were especially useful during close man-to-man combat in the jungle. After Indonesia received its independence in 1950, islanders (especially Moluccas), who had participated in these special forces, emigrated to the Netherlands, and together with the Dutch Indonesians, introduced Pentjak Silat.
After World War II in 18 May 1948, the IPSI (Ikatan Pencak Silat Indonesia), the Indonesian Pentjak Silat Federation, was established in Indonesia. In 1980, the PERSILAT, the International Pencak Silat Federation, was founded by IPSI (Indonesia), PERSISI (Singapore), (Malaysia) and PERSIB (Brunei Darussalam).

Organizations
IPSI
In 18 May 1948, members of the Pentjak Silat schools to emerge as inter-regional organizations, formed the National Indonesian Pentjak Silat Federation, and called the Ikatan Pentjak Silat Indonesia (IPSI). In the years to follow, numerous other schools also joined this federation. At last official count, some 823 separate schools were registered.

The PERSILAT
To promote Pentjak Silat on a broader scale, as well as international unity within the sport, the International Pentjak Silat Federation, called the Persekutuan Pentjak Silat Antarabangsa (PERSILAT), was formed on 11 March 1980 in Jakarta by representatives from Indonesia, Malaysia, Singapore and Brunei. As an international federation, the PERSILAT is based on the principles of fraternity, solidarity and mutual respect regardless of race, creed or color.

Persaudaraan Setia Hati “Terate” or PSHT
Style
Organization
The goal of the Persaudaraan Setia Hati Terate is to propagate a system of personal development for the mind and the body. This Pentjak Silat style is one of the largest and most widespread styles in Indonesia.
The physical and spiritual ‘epicenter” of the Persaudaraan Setia Hati Terate is the city of Madiun, in East Java, Indonesia. In this city of 600,000 inhabitants, some 15% of the population is actively involved in the PSHT.
The PSHT currently counts some 1.5 million members in Indonesia spread over 177 “Cabang” (Cities or Districts). The Head Office and the Central Board of PSHT organization is in Madiun located in East part of Java.
Madiun is also home to the central organizing board of the PSHT. The current chairman of the Central Board (Pengurus Pusat) is Mas Tarmadji Boedi Harsono.
The scope of the PSHT is broader than fighting arts alone. The PSHT is also a social-cultural organization, with its own educational programmed. It organizes educational and social-cultural activities for the local community. It maintains good contact with the government and other social-cultural organizations. And members of the PSHT maintain responsible positions in the community.
History
In 1903, Ki Ageng Soerodiwirjo laid the groundwork for a Pentjak Silat Setia Hati style. Previously he called the Physical / Movement of his Pentjak Silat “Djojo Gendilo Tjipto Muljo” and the Spiritual called “Sedulur Tunggal Ketjer” , in Kampoeng Tambak Gringsing, Surabaya. In 1917 Ki Ageng Soerodiwirjo moved to Madiun and establish his style named the Persaudaraan Setia Hati in Desa Winongo, Madiun. The Persaudaraan Setia Hati is not an organization, it just a brotherhood among the student (kadang), as at that time the Pencak Silat organization was not allowed by Dutch Colonialism. “Setia Hati” means “Faithful Heart”. Soerodiwirjo was born to an aristocratic family in Madiun, East Java, Indonesia, in the last quarter of the 19th Century. He was eventually dubbed a “Ngabei”, an exclusive aristocratic title extended by the Sultan only to those who have proven themselves spiritually worthy. He lived and worked in various locations on both Java and Sumatra, were he studied diverse styles of Pentjak Silat. On Sumatra, he also studied under a spiritual teacher. The combination of this spiritual teaching (kebatinan) and that which he had distilled from the diverse fighting arts styles formed the basis for Setia Hati. Ki Ageng Hadji Soerodiwirjo died on 10 November 1944 in Madiun.
In 1922, Hardjo Oetomo (1883-1952), a follower of the Setia Hati style, ask permission of Ki Ageng Soerodiwirjo to establish the Setia Hati School for younger generation and was permitted by Ki Ageng Soerodiwirjo, but has to be in different name. Mr. Hardjo Oetomo than establish “SH PSC” stand for Persaudaraan Setia Hati “Pemuda Sport Club”. This system was then called Persaudaraan Setia Hati Terate or PSHT in 1948 during the first congress in Madiun.
After World War II, the PSHT continued to spread throughout Indonesia. An important figure behind this growing popularity was Mr. Irsjad the first student of Ki Hadjar Hardjooetomo who created 90 Senam Dasar (Basic Exercise), Jurus Belati (Jurus with Knife), and Jurus Toya (Jurus with Long Stick). One of student of Mr. Irsjad is Mas Imam Koessoepangat (1939-1987), the spiritual leader of the PSHT at the time. His successor, Mas Tarmadji Boedi Harsono, is the current leader of the PSHT central board.

Philosophy
The Art of self-defense
Each eastern self-defense art is based on a philosophy with an associated code of ethics. This also applies to Pentjak Silat. The practice of a self-defense art has the objective of helping the student develop a forthright character by living according to the fundamental norms and values of the art. The student strives for harmony in body and spirit, in intellect and emotion.
Persaudaraan Setia Hati Terate is a way of living, a life’s path. The element of sport is just a small aspect, one of the many stones from which the path of the PSHT is paved. With this broader approach, the Persaudaraan Setia Hati Terate is not a fighting sport but a fighting art. A fighting sport is a struggle with another. A fighting art is a struggle with oneself.
Basic rules
Striving toward harmony in body and mind, the Persaudaraan Setia Hati Terate is founded on five basic principles:
1. Persaudaraan (Brotherhood or fraternity)
2. Olah Raga (Sport)
3. Bela Diri (Self-defense)
4. Seni Budaya (Art and culture)
5. Kerokhanian Ke SH an (Spiritual development)
The complete philosophy of the Persaudaraan Setia Hati Terate can be seen in the symbols of the PSHT emblem.
PSHT Emblem
The following describes the various concepts and symbols in the PSHT emblem. It embodies the part of the philosophy of the Persaudaraan Setia Hati Terate.
Persaudaraan
This concept, which can be translated as “brotherhood” or “fraternity”, expresses the vision that all people are brothers and sisters. “Saudara” is translated as both “brother” and “sister”: women are also a part of the “brotherhood”. This implies mutual respect, solidarity and co-operation. Brotherhood supersedes culture, race, creed and political affiliation.

Setia Hati
This can be translated as “faithful heart”. It implies that one should always be true to one’s heart (emotional feeling) in all of life’s decisions. These emotions, however, must be in harmony with one’s rational cognition. What the heart feels and what the intellect reasons should be in agreement. If the two elements are not in harmony, then any decision taken is wrong.
The heart
A heart is pictured in the emblem. The rays emanating from this heart are a symbolic representation of the concept of brotherhood: one sends out good thoughts or feelings to others. The red boarder around the heart is a symbol of self-defense: one aspires to brotherhood and that which one can offer others, but not at the expense of oneself. White symbolizes love and inner cleanliness.
Terate
The Terate is a water lily (lotus flower). It symbolizes resolve, resilience and the ability to adapt. This flower can thrive in all conditions. In the air. In the water. In dry and wet conditions. The PSHT student is equally able to adapt and overcome difficult circumstances. And like the Terate, despite negative influence from the surroundings, the PSHT student maintains his or her inner cleanliness. The Terate may bloom in the mud, but it maintains its beauty and purity.
The path
A vertical red line is found on the left-hand side of the emblem, flanked on each side be a white line. This is the “straight path”, symbolizing the mental and spiritual growth to which the PSHT student must aspire. During the initiation to the First Degree, the candidate makes an oath to follow this path and conform to certain rules of behavior.
Weapons
Finally, a number of yellow-colored weapons are pictured on the emblem. These symbolize the physical path that one must follow to ultimately achieve spiritual growth.
Degrees
The path of the Persaudaraan Setia Hati Terate is divided into three degrees.
The First Degree (Tingkat Satu):
The First Degree is primarily aimed at physical development. Through a system of skilful physical movements (Pentjak), students learn to use their body effectively.
The First Degree is subdivided into a number of steps, coupled to a graduated system of belts and slendangs (sashes). Each step concludes with an exam.
The Second Degree (Tingkat Dua):
The Second Degree focuses primarily on the Silat, the demobilization of an attacker using the physical techniques (Pentjak) learned for the First Degree. Students learn to make effective use of inner strengths through concentration, breathing techniques and meditation.
This form of self-defense can be highly lethal. It is therefore taught only to the PSHT holders of the First Degree White Slendang, and who, after years of training in discipline, willpower and character building are capable of mastering the “real” Silat. Training for the Second Degree White Slendang is essentially 50% physical development and 50% mental development.
The Third Degree (Tingkat Tiga):
The Third Degree is only intended for the selected few: for those who can bundle all the positive powers they have learned and apply them to the benefit of humanity. The Third Degree is 95% spiritual and 5% physical development.
In Indonesia, there are currently some 300,000 holders of the First Degree White Slendang and approximately 160 holders of the Second Degree White Slendang. Unfortunately there is only one person in Indonesia has Third Degree White Slendang, the chairman of the PSHT, Mas Tarmadji Boedi Harsono, as others was already past away.
Weapons
The weapons employed in Pentjak Silat are a combination of indigenous weapons and those brought to Indonesia from the entire Asian continent. A number of these weapons were originally tools used to worked the land. Virtually every traditional Pentjak Silat style employs the following weapons.
Pisau or belati
The pisau is a short knife with no specific form or length.
Golok and parang
The golok is a short, heavy machete with a single-sided blade. The parang is also a type of machete that is used extensively. Both were originally used as farming tools.
Trisula
The trisula is a three-pronged metal fork. It varies in length from 25 to 65 cm. The trisula is most likely of Indian origin.
Toya
The toya is a wooden staff, generally made of rattan. It varies in length from 1.5 to 2 meters, but in principle is slightly shorter than the person using it. The toya is between 3.5 and 5.0 cm in diameter.
In addition to the weapons mentioned above, most Pentjak Silat styles also employ their own specific weapons. In the PSHT, the following weapons are also used.
Celurit
Celurit is the Indonesian term for a sickle, a farming implement with a short, steel blade in the shape of a half-moon. The “ant” is a smaller sickle. The cutting edge is on the inside of the blade.
Krambit
The krambit is a fist-held punching brace with a double-sided blade in the shape of a half-moon. The krambit is originally a Moslem weapon. The PSHT is the only Pentjak Silat style to employ this weapon.

H. Tarmadji Boedi Harsono (Catatan Perjalanan)

Author: Hifni Ashter /


Hidup tak ubahnya seperti air. Bergerak mengalir dari hulu, berproses, menuju muara. Begitupun perjalanan hidup H.Tarmadji Boedi Harsono, S.E. Siswa kinasih R.M. Imam Koesoepangat (peletak dasar reformasi ajaran Persaudaraan Setia Hati Terate ) ini, layaknya sebagai manusia lumrah telah berproses melewati perjalanan waktu liku-liku dalamnya. Atas proses serta bimbingan langsung dari RM. Imam Koesoepangat itu pulalah, akhirnya akhirnya mencapai puncak tataran ilmu Setia Hati dan dan dipercaya menjadi Ketua Umum Pusat empat periode berturut-turut sejak, sejak tahun 1981 hingga tahun 2000. H.Tarmadji Boedi Harsono, S.E, lahir di Madiun, Februari 1946. Ia merupakan anak sulung dari enam bersaudara, dari keluarga sederhana dengan tingkat perekonomian pas-pasan. Ayahnya, Suratman, hanyalah seorang pegawai di Departemen Transmigrasi, sedangkan ibunya, Hj. Tunik hanya sebagai ibu rumah tangga. Dari latar belakang keluarga ini, dia pun melewati masa kecil penuh kesederhanaan. Namun ketika Tarmadji Boedi Harsono beranjak dewasa, kekurangan ini justru melahirkan semangat juang tinggi dalam merubah nasib, hingga dia berhasil menjadi seorang tokoh cukup diperhitungkan. Sosok tokoh yang tidak saja diperhitungkan di sisi harkat dan martabatnya, akan tetapi juga berhasil menyeruak kepermukaan dan mampu mengenyam kehidupan cukup layak dan wajar.
Masa kecil H.Tarmadji Boedi Harsono,S.E, sendiri berjalan biasa-biasa saja, laiknya seorang bocah. Di kalangan teman sepermainannnya, dia dikenal sebagai anak pemberani dan nakal. Bahkan sejak duduk di bangku kelas 3 SD Panggung Madiun, Tarmadi (demikian dia punya nama kecil) sudah berani berkelahi di luar. Kenakalannnya berlanjut hingga ia masuk SMP. Bahkan ketika duduk di SMU I Madiun, ia pernah diancam akan dikeluarkan dari sekolah jika tetap senang berkelahi.
Yang agak berbeda dibanding teman seusia adalah, kesukaan dia bermain dengan teman yang usianya jauh lebih tua. Barangkali karena kesukaannya ini, kelak menjadikan cara berpikir Tarmadji Boedi Harsono cepat kelihatan dewasa.
Masuk Persaudaraan Setia Hati Terate
Tarmadji Boedi Harsono mulai tertarik pada olah kanuragan (beladiri), saat berusia 12 tahun. Ceritanya, saat itu, tahun 1958, di halaman Rumah Dinas Walikota Madiun digelar pertandingan seni beladiri pencak silat (sekarang pemainan ganda). Satu tradisi tahunan yang selalu diadakan untuk menyambut hari proklamasi kemerdekaan. Tarmadji kecil sempat kagum pada permainan para pendekar yang tanpil di panggung. Terutama R.M Imam Koesoepangat, yang tampil saat itu dan keluar sebagai juara.
Sepulang melihat gelar permainan seni bela diri beladiri pencat silat itu, benaknya dipenuhi obsesi keperkasaan para pendekar yang tampil di gelangggang. Ia bermimipi dalam cita rasa dan kekaguman jiwa kanak-kanak. Cita rasa dan kekaguman itu, menyulut keinginan dia belajar pencak agar agar menjadi pendekar perkasa. Sosok pendekar sakti sekaligus juara, persis seperti yang tergambar dalam benaknya.
Kebetulan tidak jauh dari rumahnya, tepatnya di Paviliun Kabupaten Madiun (rumah keluarga R.M. Koesoepangat, terletak bersebelahan dengan Pendopo Kabupaten Madiun) ada latihan pencak silat Persaudaraan Setia Hati Terate. Pelatihnya adalah R.M. Imam Koesoepangat. Selang sepekan sejak menonton permainan seni pencak silat di halaman Rumah Dinas Walikota itu, Tarmadji Boedi Harsono memberanikan diri menemui R.M Imam Koesoepangat, meminta agar diperbolehkan ikut latihan ikut latihan. Namun, permintaan itu ditolak dengan alasan usianya masih terlalu muda.
Saat itu, ada tata tertib, yang boleh mengikuti latihan Persausaraan Setia Hati Terate adalah anak dengan usia 17 tahun ke atas (sudah dewasa). Atau anak yang sudah duduk di bangku SLTA . Ia baru diperbolehkan ikut latihan pada tahun berikutnya, yakni tahun 1959. Kebetulan adik mas Imam, R.M. Abdullah Koesnowidjojo (mas gegot), juga ngotot ingin ikut latihan. Untuk menemani, Tarmadji, akhirnya diperbolehkan ikut latihan, dengan syarat, harus menempati baris paling belakang, bersama-sama dengan Mas Gegot.
Kesempatan pertama yang diberikan padanya, benar, tak disia-siakan. Hari-hari setelah diizinkan ikut latihan, boleh dibilang, dipenuhi gerak dan langkah Persaudaraan Setia Hati Terate. Apalagi jadwal latihan saat itu belum terformat seperti sekarang ini. Kadang siang hari, sepulang R.M. Imam Koesoepangat dari pekerjaannya. Tidak jarang, ia berlatih di malam hari hingga waktu fajar. Satu hal yang cukup mendukung proses latihaimya adalah kedekatan tempat tinggalnya dengan Pavilium. Ini karena rumah keluarga Tarmadji hanya terpaut sekitar 200 meter arah barat dari Paviliun. Terlebih, R.M. Abdullah Koesnowidjojo sendiri merupakan teman akrabnya. Hampir setiap hari, ia bermain di Pavilium dan setiap pukul 13.00 WIB, ia dan R.M. Abdullah Koesnowidjojo, telah menunggu kepulangan Mas Imam (panggilan akrab R.M. Imam Koesoepangat) di beranda Pavilium. Begitu melihat Mas Imam pulang, ia langsung menyalaminya dan bersabar menunggu sang pelatih makan siang. Kadang harus bersabar pula menunggu cukup lama, karena Mas Imam perlu istirahat selepas kerja.
Berhari-hari, berbulan bahkan bertahun, ketekunan dan kesabaran serupa itu dilakukannya. Obsesinya hanya satu, ia ingin menjadi pendekar Persaudaraan Setia Hati Terate. Seorang pendekar yang tidak saja menguasai ilmu beladiri, tapi juga mengerti hakikat kehidupan. la ingin tampil menjadi sosok manusia seutuhnya. Manusia yang cukup diperhitungkan, menjadi teladan bagi sesama. Dan,jalan itu kini mulai terbuka. Tarmadji Boedi Harsono tidak ingin menyia-nyiakannya
Ketekunan dan kemauan kerasnya itu, menjadikan R.M. Imam Koesoepangat menaruh perhatian penuh padanya. Perhatian itu ditunjukkan dengan seringnya dia diajak mendampingi beliau melakukan tirakatan ke berbagai tempat, kendati saat itu masih siswa dan belum disyahkan.
Dari Paviliun ini, Tarmadji Boedi Harsono kecil, selain belajar pencak silat, juga mulai menyerap ajaran tatakrama pergaulan dalam lingkup kaum ningrat. Satu tatanan pergaulan kelompok bangsawan trah kadipaten pada zamannya. Pergaulannya dengan R.M. Imam Koesoepangat ini, membuka cakrawala baru baginya. Tarmadji yang lahir dan berangkat dari keluarga awam, sedikit demi sedikit mulai belajar tatakrama rutinitas hidup kaum bangsawan. Dari tatakrama bertegur sapa dengan orang yang usianya lebih tua, bertamu, makan, minum. hingga ke hal-hal yang berbau ritual, misalnya olahrasa (latihan mempertajam daya cipta) atau laku tirakat. Dalam istilah lebih ritual lagi, sering disebut sebagai tapa brata, di samping tetap tekun belajar olah kanuragan.
Salah satu pesan yang selalu ditekankan R.M. Imam Koesoepangat setiap kali mengajak dia melakukan tirakatan adalah; “Jika kamu ingin hidup bahagia, kamu harus rajin melakukan tirakat. Disiplin mengendalikan dirimu sendiri dan jangan hanya mengejar kesenangan hidup. Nek sing mokgoleki senenge, bakal ketemu sengsarana. Kosokbaline, nek sing mokgoleki sengsarane, bakal ketemu senenge (Jika kamu hanya mengejar kesenangan kamu akan terjerumus ke lembah kesengsaraan. Sebaliknya jika kamu rajin berlatih, mengendalikan hawa nafsu tirakatan, kelak kamu akan menemukan kebahagiaan). Ingat, Sepira gedhening sengsara, yen tinampa amung dadi coba (Seberat apa pun kesengsaraan yang kamu jalani, jika diterima dengan lapang dada, akan membuahkan hikmah).
Berangkat dari Pavilum ini pula, dia mulai mengenal tokoh Persaudaraan Setia Hati Terate, seperti Soetomo Mangkoedjojo, Badini, Salyo (Yogyakarta). Murtadji (Solo), Sudardjo (Porong) dan Harsono (putra Ki HadjarHardjo Oetomo -pendiri PSHT), Koentjoro, Margono, Drs. Isayo (ketiganya tinggal di Surabaya, serta Niti (Malang). Di samping mulai akrab dengan sesama siswa Persaudaraan Setia Hati Terate. Di antaranya, Soedibjo (sekarang tinggal di Palembang), Sumarsono (Madiun), Bambang Tunggul Wulung (putra Soetomo Mangkoedjojo, kini tinggal di Semarang), Sudiro (alm), Sudarso (alm), Bibit Soekadi (alm) dan R.M. Abdullah Koesnowidjojo (alm).
Suatu malam, tepatnya sepekan sebelum dia disyahkan, Soetomo Mangkoedjojo datang ke rumahnya. Padahal saat itu malam sudah larut dan ia sendiri mulai beranjak tidur. Mendengar suara ketukan di pintu, ia pun bangkit, membukakan pintu. la sempat kaget saat mengetahui yang datang adalah tokoh Persaudaraan Setia Hati Terate. Namun ketika dipersilakan masuk, Soetomo Mangkoedjojo menolaknya dan hanya berpesan,” Dik, persaudaraan nang SH Terate, nek ana sedulure teko, mbuh iku awan apa bengi, bukakno lawang sing amba. Mengko awakmu bakal entuk hikmahe, ” (Dik, Persaudaraan di Setia Hati Terate itu, jika ada saudara datang, entah itu siang atau malam, bukakan pintu lebar-lebar. Nanti, engkau bakal mendapatkan hikmah.)”
Pesan dari tokoh peletak dasar organisasi Persaudaraan Setia Hati Terate itu, hingga di hari tuanya,seolah-olah terus terngiang dalam benaknnya. Pesan itu pulalah yang menjadikan dirinya setiap saat selalu bersedia membukakan pintu bagi warga Persaudaraan Setia Hati Terate yang bertandang ke rumahnya di Jl. MT. Haryono 80 Madiun, hingga saat ini.
Setelah berlatih selama lima tahun, yakni pada tahun 1963, Tarmadji Boedi Harsono disyahkan menjadi Pendekar Persaudaraan Setia Hati Terate Tingkat I, bersama-sama Soediro,Soedarso, Bibit Soekadi, Soemarsono, Soedibjo, Bambang Tunggul Wulung dan R.M Abdullah Koesnowidjojo.
Turun ke Gelangang
Keberhasilan Tarmadji Boedi Harsono meraih gelar Pendekar Tingkat I, tidak menjadikan dirinya besar kepala. la justru menerima anugerah tersebut dengan rasa syukur dan tetap tawakal. la berprinsip, keberhasilan itu barulah awal dari perjalanannya di dunia ilmu kanuragan. Masih banyak hal yang harus dipelajarinya. Dan, itu hanya bisa dilakukan jika ia tetap tekun berlatih dan belajar. Pilihannya sudah bulat. Maknanya, ia pun harus mampu melanjutkan perjalanan hingga ke titik akhir.
Pada tahun 1961, Tarmadji mulai masuk ke gelanggang pendulangan medali pencak silat dan berhasil meraih juara I dalam permainan ganda tingkat kanak-kanak se Jawa Timur, berpasangan dengan Abdullah Koesnowidjojo. Sukses itu, diulang lagi tahun 1963. Di tahun yang sama, sebenamya Tarmadji berkeinginan turun ke pertandingan adu bebas di Madiun, akan tetapi Mas Imam melarang. la sempat menangis karena dilarang ikut bertanding. Tahun 1966, pasangan Tarmadji dan RB. Wijono kembali ikut kejuaraan yang sama di Jatim. Namun ia sombong sebelum bertanding. Meremehkan lawan. Akibatnya, gagal mempertahankan juara dan hanya berhasil merebut juara II. Kesombongan berbuah kehancuran. Kegagalan mempertahankan gelar ini, menjadikan dirinya malu berat dan tidak mau mengambil tropi kejuaraan.
Kasus serupa terulang lagi pada tahun 1968, saat mengikuti kejuaraan di Jember. Padahal sebelum berangkat Mas Imam sudah memperingatkan agar ia tidak usah ikut karena kurang persiapan. Namun Tarmadji nekat berangkat. Dan, hasilnya adalah kekalahan yang menyedihkan, karena hanya berhasil menjadi Juara harapan.
Kegagalan demi kegagalan mempertahankan gelar juara, menjadikan Tarmadji sadar bahwa sombong dan meremehkan lawan hanya akan menuai kekalahan. Untuk itu ia musti berlatih lagi. Pempersiapkan diri sebelum bertanding. Hasilnya, ia kembali mampu merebut juara I di Pra PON VII, Surabaya. Di PON VII, ia meraih juara III.
Pengalaman bertanding di gelanggang ini merupakan bekal Tarmadji melatih altet pada tahun-tahun tujuh puluhan. Bahkan pada tahun 1978, ia memberanikan diri menerjunkan altet ke gelanggang pertandingan, kendati Mas Imam, kurang sependapat. Dalam kurun waktu 1974-1978, Mas Imam sempat mengambil kebijakan tidak menurunkan atlet ke gelanggang. Namun pada tahun 1978, Tarmadji memberanikan diri membawa atlet asuhannya ke gelanggang. la pula yang berhasil meyakinkan Mas Imam, bahwa Persaudaraan Setia Hati Terate masih tetap diperhitungkan di gelanggang kejuaraan. Terbukti, sejumlah atlet asuhannya, berhasil meraih medali kejuaraan.
Sementara itu, di luar ketekunannya memperdalam gerak raga, Tarmadji Boedi Harsono kian khusyuk dalam memperdalam olah rasa. Hubungan dekatnya dengan R.M Imam Koesoepangat, memberi kesempatan luas pada dirinya untuk memperdalam Ke-SH-an. Jika dulu, ketika belum disyahkan menjadi pendekar tingat I, ia hanya diajak mendampingi Mas Imam saat beliau melakukan tirakatan, sejak disyahkan ia mulai dibimbing untuk melakukan tirakatan sendiri. Beberapa tatacara dan tatakrama laku ritual mulai diberikan, di samping bimbingan dalam menghayati jatidiri di tengah-tengah rutinitas kehidupan ini.
Di penghujung tahun 1965, setamat Tarmadji Boedi Harsono dari SMA, semangatnya untuk memperdalam ilmu Setia Hati kian menggebu. Bahkan di luar perintah R.M Imam Koesoepangat, ia nekat melakukan tirakat puasa 100 hari dan hanya makan sehari satu kali.waktu matahari tenggelam (Magrib). Ritual ini ditempuh karena terdorong semangatnya untuk merubah nasib. la ingin bangkit dari kemiskinan. la tidak ingin berkutat di papan terendah dalam strata kehidupan. la ingin diperhitungkan.
Genap 70 hari ia berpuasa, R.M Imam Koesoepangat memanggilnya. Malam itu, ia diterima langsung di ruang dalem paliviun. Padahal biasanya Mas Imam hanya menerimanya di ruang depan atau pendopo. Setelah menyalaminya, Mas Imam malam itu meminta agar ia menyelesaikan puasanya. Menurut Mas Imam, jika puasanya itu diteruskan justru akan berakibat fatal.”Dik Madji bisa gila, kalau puasanya diteruskan. Laku itu tidak cocok buat Dik Madji,” ujar Mas Imam.
“Di samping itu,” lanjut Mas Imam,” Dik Madji itu bukan saya dan saya bukan Dik Madji. Maka, goleko disik sangune urip Dik, lan aja lali golek sangune pati (carilah bekal hidup lebih dulu dan jangan lupa pula mencari bekal untuk mati).”
Kemudian dengan bahasa isyarat (sanepan) Mas Imam memberikan petunjuk tata cara laku tirakat yang cocok bagi dirinya. “Api itu musuhnya air, Dik,” ujar Mas Imam. Sanepan itu kemudian diterjemahkan oleh Tarmadji dalam proses perjalanan hidupnya, hingga suatu ketika ia benar-benar menemukan laku yang sesuai dengan kepribadiannya. la menyebut, laku tersebut sebagai proses mencari jati diri atau mengenal diri pribadi. Yakni, ilmu Setia Hati.
Malam itu juga, atas nasihat dari R.M Imam Koesoepangat, Tarmadji mengakhiri laku tirakatnya. Pagi berikutnya, ia mulai keluar rumah dan bergaul dengan lingkungan seperti hari-hari biasanya. Enam bulan berikutnya, ia mulai mencoba mencari pekerjaan dan diterima sebagai karyawan honorer pada Koperasi TNI AD, Korem 081 Dhirotsaha Jaya Madiun. Pekerjaan ini dijalaninya hingga tahun 1971.
Pada tahun 1972, ia berpindah kerja di Kantor Bendahara Madiun, namun hanya bertahan beberapa bulan dan pindah kerja lagi di PT. Gaper Migas Madiun pada paroh tahun 1973. Setahun kemudian, ia menikah dengan Hj.Siti Ruwiyatun, setelah dirinya yakin bahwa honor pekerjaannya mampu untuk membina mahligai rumah tangga. (Dari pemikahannya ini, Tarmadji Boedi Harsono dikaruniai tiga orang putra. Yakni Dani Primasari Narendrani,S.E, Bagus Rizki Dinarwan dan Arya Bagus Yoga Satria).
Di tempat kerja yang baru ini, tampaknya, Tarmadji menemukan kecocokan. Terbukti, ia bisa bertahan lama. Bahkan pada tahun 1975 ia ditunjukkan untuk menjadi semi agen minyak tanah dan diberi keleluasaan untuk memasarkan sendiri. Berawal dari sini, perekonomian keluarganya mulai kokoh. Sedikit demi sedikit ia mulai bisa menyisihkan penghasilannya, hingga pada tahun 1976 berhasil membeli armada tangki minyak tanah sendiri. Berkat keuletan dan perjuangan panjang tanpa kenal menyerah, pada tahun 1987, Termadji Boedi Harsono diangkat menjadi agen resmi Pertamina. Dalam perkembangannya, ia bahkan berhasil dipercaya untuk membuka SPBU (Pom Bensin) di Beringin Ngawi. Bahkan di dunia bisnis migas ini, ia ditunjuk memegang jabatan sebagai Ketua III, DPD V Hiswana Migas dengan wilayah kerja Jawa Timur, Bali, NTT dan NTB.
Tampaknya dunia wirausaha memang tepat baginya. Ini bisa dilihat lewat pengembangan sayap usahanya, yang tidak hanya berkutat dibidang migas,tapi juga merambah ke dunia telekomunikasi dengan mendirikan sejumlah Wartel (warung telekomunikasi). Malahan di bidang ini, ia ditunjuk debagai Ketua APWI (Asosiasi Pengusaha Wartel Indonesia) untuk daerah Madiun dan sekitamya.
Di sela-sela kesibukan kerja Tarmadji Boedi Harsono tetap mengembangkan Persaudaraan Setia Hati Terate. Bahkan, tidak jarang ia rela mengalahkan kepentingan keluarga dan pekerjaannya demi Persaudaraan Setia Hati Terate. “Persaudaraan Setia Hati terate adalah darah dagingku. la sudah menjadi bagian dari hidupku sendiri,” tutumya.
Sementara itu, kebiasaan nyantrik di kediaman R.M Imam Koesoepangat terus dijalani. Kepercayaan dan perhatian Mas Imam sendiri setelah ia berhasil menyelesaikan pelajaran tingkat I, semakin besar. Sampai-sampai kemana pun Mas Imam pergi, ia selalu diajak mendampinginya. Tahun 1970 ia disyahkan menjadi pendekar Persaudaraan Setia Hati Terate tingkat II. Tahun 1971, Tarmadji dipercaya menjadi Ketua Cabang Persaudaraan Setia Hati Terate Madiun. Jabatan tersebut dijalani hingga tahun 1974.
Latihan Tingkat III
Pada suatu siang, sekitar pukul 11.00 WIB, di Tahun 1978, Tarmadji dipanggil R.M Imam Koesoepangat di rumah Pak Badini. Orang yang diminta memanggil dia adalah Soebagyo.TA. Tanpa berpikir dua kali, ia berangkat ke Oro-Oro Ombo, tempat kediaman Pak Badini. Mas Imam mengutarakan niat, akan membuka latihan tingkat III. Tarmadji sendiri yang dipilih untuk dilatih sekaligus diangkat dan disyahkan menjadi Pendekar Tingkat III.
“Kula piyambak,Mas? (Saya sendiri,Mas?)” tanya Tarmadji agak kaget.
“Njih.Dik. Dik Madji piyambak!, (Ya, Dik. Hanya Dik Tarmadji sendiri!)” jawab Mas Imam.
Mendengar jawaban itu, Tarmadji dengan santun, menolak. la tidak bersedia disyahkan menjadi Pendekar Tingkat III jika sendirian. “Kula nyuwun rencang. Mas (Saya minta teman,Mas), “Tarmadji meminta.
“Nek Dik Madji nyuwun rencang, sinten? (Kalau Dik Madji minta teman, siapa?)” tanya Mas Imam.
Tarmadji saat itu langsung menyebut nama-nama Pendekar Tingat II seangkatan. Namun Mas Imam menolak dan bersikukuh tetap hanya akan mengangkat Tarmadji sendiri. Terjadi tarik ulur. Satu sisi Mas Imam bemiat hanya akan mengangkat dia, namun Tarmadji tetap minta teman.
“Sapa Dik, kancamu?” tanya Mas Imam. Tarmadji menyebut nama Soediro.
Nama ini pun semula ditolak. Namun atas desakan dia, akhimya Mas Imam menyetujui dengan syarat ia harus mau ikut menangung risiko. Dalam pikiran Tarmadji, apa yang disebut risiko, waktu itu adalah risiko pembiayaan yang terkait dengan pengadaan persyaratan pengesahan (ubarampe). Karenanya, ia langsung menyanggupi.
Hari-hari berikutnya, Tarmadji dan Soediro, mulai berlatih tingkat III. Pelaksanaan latihan berjalan lancar. Namun pada saat mereka disyahkan, sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Sesuatu itu, adalah hal yang di luar perhitungan akal sehat. Sesuatu yang erat kaitannya dengan misteri ghaib. Tarmadji tidak pemah menduga bahwa misteri itu akan berbuntut panjang. Dan, Wallahu a’lam bi ssawab, hanya Allah yang Maha Mengerti. Temyata dalam perjalan hidup, Soediro lebih dulu dipanggil Yang Kuasa.
Peristiwa itu, sungguh, sangat menggetarkan jiwa Tarmadji. Pedih rasanya. Lebih pedih lagi, saat ia melihat Mas Imam menangis di samping jenazah saudara seperguruannya itu. Semoga anrwah beliau diterima di sisi-Nya.
Dipercaya Memimpin Organisasi
Keberhasilannya mempelajari ilmu tertinggi di organisasi tercinta ini, menambah dirinya kian mantap, kokoh dan semakin diperhitungkan.
Cantrik setia R.M Imam Koesoepangat yang di waktu-waktu sebelumnya selalu tampil di belakang ini, sejak berhasil menyelesaikan puncak pelajaran di Persaudaraan Setia Hati Terate, mulai diterima dan diperhitungkan di kalangan tokoh organisasi tercinta. Sejalan dengan kapasitasnya sebagai Pendekar Tingkat ni, ia mulai dipercaya tampil ke depan dengan membawa misi organisasi. Tahun 1978 Tarmadji dipilih menjadi Ketua I, mendampingi Badini sebagai Ketua Umum Persaudaraan Setia Hati Terate. Puncak kepercayaan itu berhasil diraih pada MUBES Persaudaraan Setia Hati Terate Tahun 1981. Yakni dengan terpilihnya ia menjadi Ketua Umum Pusat.
Setahun setelah Tarmadji Boedi Harsono memimpin organisasi, sejumlah terobosan yang dimungkinkan bisa mendukung pengembangan sayap organisasi diluncurkan.Salah satu produk kebijakan yang dilahirkan adalah pendirian Yayasan Setia Hati Terate lewat Akta Notaris Dharma Sanjata Sudagung No. 66/1982. Yayasan Setia Hati Terate merupakan komitmen organisasi untuk andil memberikan nilai lebih bagi masyarakat, khususnya di sektor ril. Dalam perkembangannya, di samping berhasil mendirikan Padepokan Persaudaraan Setia Hati Terate di atas lahan seluas 12.290 m yang beriokasi di Jl. Merak Nambangan Kidul Kodya Madiun, yayasan ini juga mendirikan dua lembaga pendidikan formal Sekolah Menengah Umum (SMU) Kususma Terate dan Sekolah Menengah Industri Pariwisata (SMIP) Kusuma Terate serta lembaga pendidikan ketrampilan berupa kursus komputer.
Sedangkan untuk meningkatkan perekonomian warganya, Tarmadji Boedi Harsono meluncurkan produk kebijakan dalam bentuk koperasi yang kemudian diberi nama Koperasi Terate Manunggal.
Hingga saat ini, Yayasan Setia Hati Terate telah memiliki sejumlah aset, antara lain tanah seluas 12.190 m2 yang di atasnya berdiri sarana dan prasarana phisik seperti: gedung Pendapa Agung Saba Wiratama, gedung Sekretariat Persaudaraan Setia Hati Terate, gadung PUSDIKLAT (Sasana Kridangga), gedung pertemuan (Sasana Parapatan), gedung Training Centre (Sasana Pandadaran), gedung Peristirahatan (Sasana Amongraga), Kantor Yayasan Setia Hati Terate, gedung SMU dan SMTP Kusuma Terate, gadung Koperasi Terate Manunggal dan Mushola Sabaqul Khoirot.
Searah dengan itu, pergaulannya dengan para tokoh Persaudaraan Setia Hati Terate pun semakin diperluas. Beberapa tokoh berpengaruh di organisasi tercinta didatangi. Dari para tokoh yang didatangi itu, ia tidak saja mampu memperdalam olah gerak dan langkah Persaudaraan Setia Hati Terate, tapi juga menerima banyak wejangan kerokhanian. Bahkan saat Tarmadji Boedi Harsono dipercaya untuk memimpi Persaudaraan Setia Hati Terate, sejumlah tokoh yang dulu pemah dihubunginya itu dengan rela menyerahkan buku-buku pakem Ke-SH-an yang mereka tulis sendiri
Wejangan, baik lisan maupun tulisan, dari para tokoh dan sesepuh ini dikemudian hari dijadikan bekal dalam memimpin Persaudaraan Setia Hati Terate. Dan terlepas dari segala kelemahannya, terbukti Tarmadji Boedi Harsono mampu membawa Persaudaraan Setia Hati Terate menjadi sebuah organisasi yang cukup diperhitungkan tidak saja di dunia persilatan tapi juga di sektor lainnya.
Sementara itu, penggarapan di sektor ideal dalam bentuk penyebaran ajaran budi luhur lewat Persaudaraan Setia Hati Terate tetap menjadi prioritas kebijakan. Dan hasilnya pun cukup melegakan. Terbukti, sejak tampuk pimpinan organisasi di pegang oleh Tarmadji Boedi Harsono, Persaudaraan Setia Hati Terate yang semula hanya berkutat di Pulau Jawa, sejengkal demi sejengkal mulai merambah ke seluruh pelosok tanah air. Bahkan mengembang lagi hingga ke luar negeri. Tercatat hingga paroh tahun 2000, Persaudaraan Setia Hati Terate telah memiliki 146 cabang di 16 provinsi di Indonesia, 20 komisariat di perguruan tinggi dan manca negara dengan jumlah anggota mencapai 1.350.000 orang.
Yang patut dipertanyakan adalah, misteri apa berpusar dibalik keberhasilan dia membawa Persaudaraan Setia Hati Terate ke tingkat yang lebih terhormat dan cukup diperhitungkan. Jawabnya, temyata ada pada tiga titik inti yang jika ditarik garis lurus akan membentuk misteri segi tiga. Titik pertama berada di Desa Pilangbango, Madiun (kediaman Ki Hadjar Hardjo Oetomo – titik lahimya Persaudaraan Setia Hati Terate), titik kedua berada di Pavilium Kabupaten Madiun (kediaman R.M Imam Koesoepangat – titik perintisan Persaudaraan Setia Hati Terate) dan titik ketiga berada di Padepokan Persaudaraan Setia Hati Terate Jl. Merak Nambangan Kidul Kodya Madiun – titik H. Tarmadji Boedi Harsono,S.E mengembangkan Persaudaraan Setia Hati Terate.
Kiprah di Luar Persaudaraan Setia Hati Terate
Tampaknya memang bukan H. Tarmadji Boedi Harsono,S.E, jika ia hanya puas berkutat dengan prestasi yang dicapai di dalam organisasi Persaudaraan Setia Hati Terate. Sebagai bagian dari anggota masyarakat, ia pun terbukti tampil cukup diperhitungkan. Tokoh yang mendapatkan gelar sarjana ekonomi dari Unmer Madiun ini juga andil di organisasi masyarakat. Bahkan sempat menduduki sejumlah jabatan cukup strategis hampir di setiap organisasi yang diikutinya.
Di sisi lain, kariermya di bidang politik juga cukup matang. Terbukti ia dipercaya menjadi wakil rakyat Kodya Madiun (anggota DPRD) hingga dua periode. Masing- masing periode 1987 -1992 dananggotaDPRDKodyaMadiunperiode 1997 – 1999. Puncak prestasi yang berhasil diraih di bidang politik ini tercipta pada tahun 1998, di mana H. Tarmadji Boedi Harsono,S.E diberi kepercayaan untuk tampil 1 sebagai salah seorang Calon Wali Kota Madiun
Sementara itu, menyadari dirinya adalah seorang muslim, pada tahun 1995 ia bersama istri tercinta, Siti Ruwiatun berangkat ke tanah suci Mekah Al Mukaromah menjadi tamu Allah, menunaikan rukun Islam yang kelima, yakni ibadah haji. Ibadah ini kembali diulang pada tahun 2000. Sepulang menjalankan ibadah haji, ia dipercaya memimpin IPHI (Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia) Kodya Madiun.

Masa Riwayat RM. Imam Koesoepangat

Author: Hifni Ashter /


Sebelum melihat jauh kedepan mengenai perkembangan Persaudaraan Setia Hati Terate sekarang ini, kita ingatkan julukan : “PENDHITA WESI KUNING”. Siapa kah Pendhita Wesi Kuning itu? Ia dikenal seorang yang berdedikasi tinggi, dalam kamus hidupnya tidak ada kata menyerah dalam menghadapi tantangan. Pola hidupnya sederhana meskipun ia sendiri dilahirkan dari keluarga yang bermartabat, penerus trah kusumah rembesing madu amaratapa wijiling handanawarih. Kiatnya “Sepiro gedhening Sengsoro Yen Tinompo Amung dadi Cobo” dan kiat itu dihayatinya dijabarkan dalam lakunya sampai akhir hayatnya.
Ia teguh dalam pendiriannya yakni mengabdi pada sesama maka orang-orangpun memberi julukan “PENDHITA WESI KUNING” (konon julukan ini mengacu pada warna wesi kuning sebagai senjata kedewataan yang melambangkan ketegaran, kesaktian, kewibawaan sekaligus keluhuran). Ketika ia di tanya, siapakah orang yang paling dicintainya di dunia ini ?. ia akan menjawab dengan tegas “IBU “. Dan ketika ia di tanya organisasi apakah yang paling ia cintai selama di dunia ini ?. maka ia pun akan mengatakan PERSAUDARAAN SETIA HATI TERATE.
Dua jawabpan di atas, pertanyaan yang mengacu pada kedalaman rasa itu, telah di buktikan tidak hanya ucapan belaka tetapi dengan kerja nyata. Hampir sepanjang hidupnya waktu, tenaga, pikiran dan jiwanya dipersembahkan demi baktinya kepada keduanya itu. Yakni ibu, seorang yang telah berjasa atas keberadaan di dunia ini, dan persaudaraan setia hati terate sebuah organisasi tempat menemukan jati diri, sekaligus ajang darma baktinya dalam rangka mengabdi kepada sesama. Dialah RADEN MAS IMAM KOESOEPANGAT. Putra ketiga dari pendawa lima. Yang lahir dari garba : Raden Ayu Koesmiyatoen dengan RM AMBAR KOESSENSI. Bertepatan pada hari jum`at pahig tanggal 18 november 1938, di Madiun kakek beliau (Kanjeng Pangeran Ronggo Ario Koesnoningrat) adalah bupati Madiun VI dan neneknya (Djuwito) atau (RA Pangeran Ronggo Ario Koesnoningrat), merupakan figur yang di segani pada saat itu.
Menurut keterangan dari pihak keluarganya, trah Kanjeng Pangeran Ronggo Ario Koesodiningrat selain di kenal sebagai penerus darah biru juga dikenal sebagai bangsawan yang suka bertapa brata satu laku untuk mencari hakikat hidup dengan jalan meninggalkan larangan-larangan Tuhan Yang Maha Esa serta membentengi diri dari pengaruh keduniawian. Bakat alam yang mengalir dalam darah kakeknya ini , di kemudian hari menitis ke dalam jiwa RM IMAM KOESOEPANGAT. Dan mengantarkan menjadi seorang Pendekar yang punya Kharisma dan di segani sampai ia sendiri di juluki. “Pandhita Wesi Kuning”.
Masa Kecil
Masa kecil RM IMAM KOESOEPANGAT di lalui dengan penuh suka dan duka, ia seperti hal nya saudara-saudara kandungnya (RM Imam Koesoenarto dan RM Imam Koesenomihardjo, dan RM Koesenomihardjo kakak serta RM Imam Koeskartono dan RM Abdullah Koesnowidjodjo,adik) hidup dalam asuhan kedua orang tuanya, menempati tempat tinggal kakeknya di lingkungan kabupaten Madiun . (menurut sumber terate) semasa kecilnya, RM Imam Koesoepangat belum menunjukan kelebihan yang cukup berararti. Di sekolahnya (SD latihan duru satu : sekarang SDN Indrakila Madiun) ia bukan tergolong siswa yang paling menonjol, salah satu nilai lebih yang di miliknya barangkali hanya karena keberanianya. Selain ia sendiri sejak kecil sudah di kenal sebagai bocah yang jujur dan suka membela serta suka menolong teman-teman sepermainanya.
Ketika berumur 13 tahun, semasa ia haus damba kasih dari ayahanda nasib berbicara lain RM Ambar Koesensi (ayahanda tercinta) di panggil ke Hadirat Tuhan yang maha Esa, tepatnya pada tanggal 15 maret 1951 , sewaktu ia masih duduk di kelas 5 SDN. RM Imam Koesoepangat kecilpun seperti tercerabut dari dunia kana-kanaknya, sepeninggalnya orang yang di cintainya itu sempat menggetarkan jiwanya. Namun kematian tetap kematian tidak seorangpun mampu menolak kehadiranya. Begitu juga yang terjadi pada RM Ambar Koesensie.
Hari-hari berikutnya RM Imam Koeseopangat diasuh langsung oleh ibunda RA Koesmiatoen Ambar Koesmiatoen. Di waktu-waktu senggang ibunda sering kali mendongeng tentang pahlawan-pahlawan yang dikenalnya dan tidak lupa memberi petuah hidup. Berawal dari tatakrama pergaulan, tatakrama menembah (bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa) sampai merambah pada pengertian budi luhur dan mesubrata.
Masuk Persaudaraan Setia Hati Terate
Benih luhur yang di tanamkan ibundanya itu lambat laun ternyata mampu mengendap dan mengakar di dalam jiwa RM Imam Soepangat, ia lebih akrab dengan panggilan “ARIO” perhatianya terhadap nilai-nilai budi luhur kian mekar bagai bak terate di tengah telaga. Semenjak kecil sudah menyukai laku tirakat, seperti puasa dll sejalan dengan itu sikapnya mulai berubah ia mulai bisa membawa diri menempatkan perasaan serta menyadari keberadaannya. Gambaran seorang Ario kecil, sebagai bocah ingusan, sedikit demi sedikit mulai di tinggalkannya.
Rasa keingintahuan terhadap berbagai pengetahuan terutama ilmu kanuragan dan kebatinan yang menjadi idaman semenjak kecil kian hari semakin membakar semangatnya. Melecut jiwanya untuk segera menemukan jawabanya, barang kali terdorong oleh rasa keingintahuanya itulah ketika umurnya bejalan enam belas tahun RM Imam Koeseopangat mulai mewujudkan impianya. Di sela-sela kesibukanya sebagai siswa di SMP 2 Madiun, ia mulai belajar pencak silat di bawah panji-panji Persaudaraan Setia Hati terate. Kebetulan yang melatih saat itu adalah mas IRSAD (murid Ki Hadjar Hardjo Oetomo) selang lima tahun kemudian 1959 setelah tamat dari SMA Nasional Madiun ia berhasil menyelesaikan Pelajaran di Persaudaraan Setia Hati Terate dan berhak menyandang gelar pendekar tingkat satu.

Masukan Nama Penyanyi - Judul Lagu

Mesin Cari Free Download Mp3 Gratis